Sabtu, 10 Desember 2016

Delisha

Hiruk pikuk komentar di jejaring sosial serta banyaknya berita yang tidak bertanggung jawab membuat otak menjadi sesak dan penuh dengan prasangka buruk. Lebih baik buang jauh-jauh semua prasangka itu, mari berkarya dan berbuat sesuatu untuk negeri ini.

Rekaman iseng-iseng di Sanggar Biru Madiun sebelum latihan.
"Delisha"
Wisang feat. Furqon

Senin, 05 Desember 2016

Tontonan yang Mencerahkan


Tak perlu jauh-jauh pergi ke luar kota jika ingin menonton pertunjukan teater. Di Kota Madiun setiap tahunnya bisa dipastikan ada pertunjukan teater dari salah satu kelompok teater pelajar. Teater bukan merupakan sesuatu yang asing lagi bagi masyarakat Madiun terutama para pelajar. Karena hampir semua lembaga sekolah di Kota Madiun terdapat kelompok teater dan menetapkan teater sebagai ekstra kurikuler sekolah. Mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan memiliki kelompok teater. Bahkan sudah ada beberapa Taman Kanak-Kanak kini mulai menetapkan teater sebagai ekstra kurikuler. Perkembangan teater pelajar di Madiun saat ini bisa dibilang pesat dengan segala keterbatasan yang ada. Rasanya pantas jika Madiun mendapat sebutan sebagai kotanya teater Pelajar.

Selain banyaknya teater pelajar di Kota Madiun ada juga beberapa kelompok teater umum, salah satunya adalah Sanggar Biru Madiun. Sanggar Biru Madiun adalah kelompok teater umum yang mencoba berproses dan terus berkarya di tengah gempuran media digital yang semakin banyak memberikan alternatif tontonan dan hiburan. Jika kelompok teater remaja masih mendapatkan dukungan penuh dari lembaga yang menaunginya, lain halnya dengan Sanggar Biru Madiun yang notabene adalah sanggar umum. Bisa dikatakan ia ada karena kenekatan para anggotanya yang memiliki satu visi ke depan. Meski banyak rintangan mulai dari masalah pendanaan, tempat pementasan dsb, Sanggar Biru Madiun seakan sadar bahwa itu semua merupakan bagian dari sebuah proses. Proses yang harus dijalani untuk mendewasakan setiap anggotanya.

Kini hampir 20 tahun Sanggar Biru Madiun berproses semenjak kelahirannya tahun 1996 lalu. Dengan jatuh bangun, telah banyak karya pertunjukan yang dihasilkan. Sudah menjadi sebuah komitmen dan program kerja tahunan Sanggar Biru Madiun semenjak kelahirannya kembali untuk dapat mementaskan sebuah pertunjukan drama. Sebuah tontonan yang diharapkan bukan hanya menghibur, akan tetapi juga dapat memberikan input  yang baik bagi penonton. Keterbatasan bukanlah sebuah halangan, karena komotmen telah digulirkan bersama, bagaimanapun keadaanya Sanggar Biru Madiun akan terus berproses dan berkarya.


Kali ini Sanggar Biru Madiun tengah berproses mempersiapkan sebuah pertunjukan musik. Dan sekali lagi proses ini ada karena kenekatan para anggotanya yang sebenarnya minim kemampuan bermusiknya. Semuanya didasarkan pada satu visi, yaitu ingin terus berproses dan berkarya. Semoga apa yang Sanggar Biru Madiun sajikan dapat memberikan hiburan dan pencerahan, terutama bagi anggota Sanggar Biru Madiun.

Teater adalah Sebuah Proses


Pada dasarnya pertunjukan teater adalah sebuah ruang untuk bercermin dan berkontemplasi bukan hanya bagi penonton yang menjadi objek tontonan akan tetapi juga bagi para pelaku seni yang terlibat di dalamnya. Akan tetapi seiring perkembangan teknologi seakan hal tersebut sudah mulai terkikis, terkalahkan oleh budaya instan. Kita sudah terlalu dalam terbuai dalam kemudahan-kemudahan karena hampir semua bisa dilakukan hanya dengan menggesekkan jari ke layar smartphone. Kita lupa bahwa segala sesuatunya butuh proses, dari tiada menjadi ada. Kita lupa betapa berharganya sebuah proses. Ibaratnya, secangkir kopi akan tiada tanpa sebuah proses. Ia bermula dari biji kopi yang dipetik, dijemur, disangrai lalu ditumbuk agar menjadi bubuk kopi yang siap diseduh. Belakangan ini kebanyakan dari kita lebih suka kepada hal-hal yang praktis dan pragmatis. Kemalasan-kemalasan telah membuai kita sehingga menjadikan kita terbiasa apatis. Kita hanya peduli pada kebutuhan pribadi kita. Kita lebih terpesona pada hal-hal hedonis yang hingar bingar, padahal sebenarnya kita tahu bahwa semuanya minim akan pemaknaan atau pendidikan bahkan lebih banyak keburukannya.

Untuk itulah ruang kesenian khususnya teater hadir untuk mengajak mengingat kembali pentingnya sebuah proses bagi para pelakunya. Proses yang notabene diibaratkan menjadi tempat untuk menempa diri dan mengukur daya tahan baik fisik maupun mental. Bisa dikatakan proses teater adalah sebuah laboratorium kehidupan. Di sana merupakan cerminan sederhana kehidupan dunia tempat saling bekerja sama dan berbagi serta memupuk rasa empati kepada sesama. Dan dari sana pulalah orang-orang yang bergelut dengannya menemukan berbagai macam makna tergantung pada penghayatan masing-masing pribadi, dengan catatan bahwa itu dilakukan dengan kesungguhan bukan keterpaksaan.

     
Selanjutnya, yang terpenting bukanlah hasil akhir melainkan pada prosesnya, walaupun hasil yang maksimal tetaplah menjadi target, tapi ia ada ketika proses dilakukan. Dan biasanya, hasil tak pernah berkhianat pada proses.  Mari kita berproses kembali, setidaknya dengan hal-hal sederhana inilah kita berbuat sesuatu untuk bangsa ini.

Minggu, 04 Desember 2016

Sabtu, 03 Desember 2016

Keanekaragaman Penghuni Sanggar


Ini adalah para penghuni Sanggar Biru Madiun dan keanekaragamannya. Siapa saja boleh singgah di sini, karena memang ini adalah rumah singgah. Kita di sini saling menguatkan dan bukan saling meniadakan.

Bang Agung. Simbahnya Sanggar Biru Madiun

Ayah Ony. Ketuanya Sanggar Biru Madiun. Hobi pegang alat musik jenis apapun dan dari bahan apapun.

Mama Rani. Jago membuat kue dan roti terutama roti gulung-gulung. Dialah yang sering jadi pemasok konsumsi ketika anak-anak Sanggar Biru sedang berlatih.

Wisang Pendik. Gitarisnya Sanggar Biru Madiun meski sampai saat foto ini diupload belum ada kejelasan status keanggotaannya.

Mbak Ika aka Mbokdhe Jemprit. Tukang suntik karena memang seorang perawat dan juga tukang sunat.

Mbak Mahanani aka Mbah Kawit. Desainer stiker, poster dan pamfletnya Sanggar Biru. Orangnya sibuk dan sering ke luar negeri karena harus mondar-mandir ngurus bisnisnya. Tetapi di waktu luangnya kadang manuver jadi tukang urutnya Soleman.

Rista. orang paling gampang baper di Sanggar Biru. Hobi banget sama yang namanya nangis. Kalau sudah curhat bisa tahan berjam-jam.

Jalu. Vokalisnya Sanggar Biru karena memang suaranya paling bisa diandalkan selain Wisang Pendik dan Ajeng. Orangnya paling menonjol di Sanggar Biru. Hatinya begitu lembut selembut kapuk bantal. Kalau sedang kepedesan mulutnya bisa mengeluarkan asap. Bercita-cita punya kumis seperti Bang Agung.

Ibnu Malik. Operator audionya Sanggar Biru dan juga tim artistik Sanggar. Paling suka ngulik kabel dan barang-barang audio. Kemana-mana selalu bawa kertas gambar untuk menggambar dekorasi, setting panggung kadang juga gambar bulatan-bulatan tidak jelas.

Candra Elmen. Tukang kendang yang saat ini sedang latihan alat musik tiup sampai-sampai berlatih meniup ban sepeda yang ada di Sanggar. Berlatih 6 jam setiap hari agar bisa meniup recorder dengan baik dan benar.

Ajeng. Vokalisnya Sanggar Biru. Sering labil karena memang daya listriknya kurang stabil.

Furqon. Ahli forensik dari negeri seberang. Datang ke Sanggar Biru Madiun untuk meningkatkan ilmu pancasona tingkat 5. Sedang agak amnesia semenjak kehilangan gelang perubahnya.

Eka. Orang paling diam tapi kalau sudah ngomong bisa kemana-mana. Setiap kali latihan musik hobi pegang alat "ecek-ecek".

Bintang. Penata lampu alias tukang PLN-nya Sanggar Biru. Benar-benar terobsesi sama yang namanya lampu karena hampir setiap malam dialah teman setia yang memeluk lampu-lampu di Sanggar.

Dika. Penari dan memang suka menari. Biasanya setiap kali Sanggar Biru ataupun Teater di bawah naungan Sanggar sedang pentas, dialah yang selalu mengajukan diri untuk memberi pinjaman kostum.

Totok. Anggota Sanggar Biru yang sangat sibuk tour dan jalan-jalan. Karena memang punya biro wisata.

Eka Kocok. Anggota Sanggar Biru yang telah lama hilang. Katanya sedang mencari jati diri ke barat, dan mungkin sedang tersesat tak tahu jalan pulang.

Rian Ciputra aka Ichi. Admin Blog Sanggar Biru Madiun. Orang paling absurd di Sanggar. Kalau latihan seringnya cuma pakai boxer. Vokalnya paling fals setelah Furqon. Sedang menjalani latihan ilmu kanuragan. Hobinya mencuci Megazord. Jati diri sebenarnya adalah Ranger Hijau.



Menanamkan Empati


Kata seorang teman, setidaknya minimal mengabarkan satu berita gembira pada seseorang akan memberikan efek positif bagi pengabar juga pendengarnya. Lalu saya berandai-andai, bagaimana jika puluhan, ratusan bahkan jutaan kabar gembira yang kita dengar atau sampaikan setiap hari. Mungkin kita akan merasa bersemangat menjalani kehidupan tanpa keluh kesah, umpatan bahkan cacian. Hanya saja di zaman modern yang serba instan ini segala kemungkinan begitu terbuka lebar. Setiap orang punya kesempatan untuk berpendapat secara terbuka di media umum, entah itu dengan santun atau dengan bahasa kasar yang buruk, berdasar ataupun tidak. Semua bisa dilakukan dengan mudah sambil duduk, ngupil, selonjoran atau tiduran. Banyak orang ingin didengarkan dan merasa perlu untuk berkomentar tanpa ada tedeng aling-aling. Mereka bebas mengumpat, mencaci, menghujat apa saja siapa saja. Mungkin slogan bahwa kita adalah bangsa yang santun sudah tertimbun puing-puing keegoisan kita demi kepentingan-kepentingan.



Waktu memang perkasa, ia telah menggiring kita menjadi makhluk yang begitu rumit. Semakin berkembang pengetahuan kita, semakin rumitlah kita. Padahal tujuan utama ilmu pengetahuan adalah untuk memudahkan kehidupan. Tapi seiring perkembangan teknologi yang begitu pesat masalah-masalah baru muncul saling tumpang tindih minta diselesaikan satu persatu.


Sering muncul celetukan, betapa indahnya masa kanak-kanak. Masa di mana penuh dengan kegembiraan, tanpa ada kebencian dan rasa dendam. Bagaimana tidak, ketika para orang dewasa sibuk mencari siapa benar dan siapa salah, anak-anak begitu sederhananya menjalani peran mereka. Mereka bermain bersama, berselisih mungkin juga berkelahi karena sesuatu hal, tapi sebentar saja mereka sudah bermain permainan lain bersama tanpa pernah ingat perselisihan sebelumnya.


Betapa indahnya pemikiran sederhana mereka, sesederhana kami di Sanggar Biru yang ingin berbagi sedikit apa yang kami miliki kepada anak-anak. Di Sanggar Biru ini kami mencoba mengajak mereka untuk berkesenian serta berkarya, bukan untuk menjadi seorang seniman, artis atau selebritis akan tetapi agar mereka saling mengenal satu sama lain, memahami tentang perbedaan dan mengajak mereka saling bekerja sama. Harapan kami dengan berproses, nantinya mereka memiliki rasa empati yang tinggi kepada sesama  serta halus budinya. Semoga kelak mereka akan menyebarkan benih yang telah kami tanam kepada teman, saudara dan kerabat mereka.