BELAJAR DARI JALANAN
Rian
Ciputra, S. Pd.
Benar sekiranya jika ada pernyataan bahwa jalan raya adalah
cermin perilaku bangsa. Karena dari jalan raya kita dapat melihat berbagai
wajah. Di sanalah tempat bertemunya orang-orang. Saling lalu lalang, dan
biasanya tanpa tegur sapa. Jikapun ada tegur sapa, pastinya hanya beberapa
orang yang sudah saling mengenal. Semua orang sibuk dengan dirinya dan tujuan
masing-masing. Saya akan menuju ke sana, dan kamu entah ke mana saya tak
peduli. Dan tiap-tiap orang yang anda temui tak akan bertanya ke mana anda
pergi dan juga sebaliknya, andapun juga tak akan mungkin menanyakan satu
persatu orang akan pergi ke mana. Itu adalah hak ppribadi. Tak sopan rasanya
jika anda menanyakan, bahkan memaksa untuk ikut ke arah tujuan anda.
Di jalan raya pula segala perilaku manusia muncul. Saya yakin
anda pasti pernah mengendarai kendaraan anda di jalanan, terutama pada jam
sibuk. Di sana kita lihat bagaimana perangai manusia begitu beragam. Ada yang
sabar berjalan, ada yang ngebut, ada yang serobot kanan kiri, ada yang santai,
ada pula yang ugal-ugalan. Dari sanalah kita dapat bercermin. Melihat mana yang
baik dan mana yang buruk. Dan apakah kita termasuk yang baik atau yang buruk?
Sepanjang sepengetahuan saya, pagi ketika waktu orang
berangkat bekerja adalah saat orang menjadi sangat egois. Mereka mengejar
waktu, memenuhi kebutuhan pribadi agar sampai ke tempat tujuan dengan segera.
Begitulah yang terjadi dengan bangsa ini. Kebanyakan orang
saling tak peduli. Yang dipedulikan hanya kebutuhan dan tujuan masing-masing.
Pemerintah tak ada kepedulian. Perangainya menunjukan
keegoisan mereka yang hanya ingin mencapai tujuan pribadi. Sementara kita
sebagai rakyat tanpa sadar juga sibuk dengan tujuan kita. Yang terkadang
bersikap ugal-ugalan, serobot sana serobot sini, sikut sana sikut sini tanpa
peduli dengan orang lain demi sampai ke tujuan. Teriak-teriak tentang
kebenaran, menuntut dan terus menuntut orang lain tanpa pernah menuntut diri
kita sendiri. Bukan berarti kita tak boleh menuntut. Hanya saja kita harus
lebih arif dalam menyampaikan sesuatu dan begitu pula sebaliknya. Dengan begitu,
tak perlu ada saling emosi dan amarah yang meledak-ladak. Karena hal itu hanya
akan menghabiskan energy saja.
Memang sudah sewajarnya tak ada tegur sapa di jalanan. Tapi bukan
berarti kita saling tak peduli. Sudah sewajarnya pula setiap orang berjalan ke arah
tujuan masing-masing. Tapi tak berarti kita harus egois. Kita hanya perlu untuk
saling peduli. Jika diistilahkan “jangan sampai kita menabrak, bukan jangan
sampai kita ditabrak.” Dari ungkapan tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa
jangan sampai menabrak kita akan lebih peduli pada orang lain. Kita akan
berusaha agar tidak menabrak orang lain. Berbeda dengan jangan sampai ditabrak.
Kita akan menjadi sangat egois. Seenaknya sendiri tanpa peduli orang lain. Yang
penting tidak tertabrak, masa bodoh dengan orang lain.
Dari jalanan kita dapat belajar banyak tentang negeri ini.
belajar untuk sampai ke tujuan tanpa merugikan orang lain. Belajar untuk saling
peduli dengan tidak menyerobot, dengan tidak ugal-ugalan, dengan mematuhi rambu
lalu lintas, dan dengan sabar, dan juga dengan tanpa klakson di lampu merah.
Tak perlulah kita menengok kata-kata yang sering kita dengar.
Bahwa kesabaran kita sudah di ubun-ubun karena telah 32 tahun kita terkekang.
Bahwa kesabaran kita sudah habis karena pemerintah tetap bersikap seperti
anak-anak. Bahwa amarah kita sudah tak terbendung karena korupsi ada di
mana-mana. Muncul satu kasus dan kasus lain terlupakan. Kepala kita menjadi penuh
dengan hal-hal yang menyesakkan. Saling berhimpitan dan mematri keegoisan dalam
diri kita.
Lupakan semua itu, yang kita tuju adalah masa depan. Kita
harus memulainya dari diri kita, dari hal-hal kecil, dan dari sekarang. Demi
masa depan yang baik untuk semua orang. Dengan cara saling peduli, sehingga
nantinya bangsa ini akan lebih bermartabat dan arif. Demi masa depan yang baik bukan
hanya bagi segelintir orang namun bagi semua orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar